Kita dan Kopi

Sore itu hujan, entah sudah berapa jam mereka berdelapan duduk di teras atas rumah sang pemilik rumah, di jalan Persatuan. Yaitu Ahmad, Ivan, Klara, Vio, Winny, Andini, Hany, dan Alex, sang pemilik rumah. Hangatnya tawa mereka bercampur bau tanah saat hujan turun, ditambah lagi aroma kopi yang dibuat oleh Hany khusus untuk mereka berenam, karena Vio dan Klara yang tak suka. Mereka memang seperti ini, selalu berkumpul dirumah Alex yang tak jauh dari sekolah mereka. Setelah setengah menit mereka diam karena lelah perut mereka dikocok oleh candaan Andini dan Ahmad, akhirnya lamunan mereka terpecah oleh suara Vio.
“Eh gimana kalo kita main truth or dare aja?”suara Vio yang agak melengking mengagetkan Hany yang setengah mengantuk.
“Boleh tuh, kita kan udah lama gak main.” Ivan pun mengangguk setuju.
“Gue sama Hany gak ikut yah, mau main catur nih.” kata Alex.
“Oke oke, gue aja yang mulai duluan ya. T or D?” Vio menunjuk Klara.
“Loh kok curang sih? Maen nunjuk gue aja!” Geram Klara sambil mencubit Vio.
“Terserah gue dong, udah cepetan pilih T or D?”
“Hmm truth aja deh.” Klara pasrah.
“Yah muka lo kok sendu gitu sih Klar? Oke langsung aja. Hal apa yang paling menjijikkan dari lo pas di kelas? Truth ya.” tanya Vio sumringah.
“Ah lo gak tau aja gue Vi, kan kita udah tiga tahun sekelas.”
“Jangan alasan deh Klar, jawab aja!” Ahmad yang diam pun langsung bersemangat.
Dengan muka yang setengah kesal dan malu Klara menjawab, “Pernah pas pelajaran Bu Suci gue pernah kentut dikelas yang baunya sampe satu kelas itu dan gue gak ngaku siapa yang kentut.”
“Apa? Jadi lo yang kentut waktu itu Klar? Hahahaha..” kata Winny dan yang lain pun tertawa terbahak-bahak. Tak ada canggung diantara mereka.
“Lanjut lagi ya, T or D, Van?” Klara menunjuk Ivan yang tawanya paling mengejek diantara yang lain.
“Hemm, truth aja deh, jangan tanya yang aneh-aneh lo!”
“Hahaha oke. Kapan terakhir lo pacaran Van?”
Deg. Wajahnya langsung berubah menjadi tomat. Merah.
“Bisa diganti gak pertanyannya?” Ivan menawar.
“Gak bisa!” Semuanya berteriak kecuali Alex dan Hany yang fokus bermain catur.

7 tahun yang lalu..                 
Sepi. Bertempat di kelas mereka berdelapan itu. Dari mereka berdelapan itu Ahmad, Andini, Vio dan Ivan yang selalu membawa bekal dari rumah, sisanya membeli di kantin sekolah, dan tak lupa es capucinno yang dibeli oleh Hany untuk mereka berenam, seperti biasanya. Dari mereka berdelapan itulah hanya Hany dan Ivan yang mempunyai hubungan khusus alias pacaran. Semenjak setahun lebih yang lalu Ivan memang menyukai Hany, dan entah alasan apa mereka bisa jadian, dan sampai saat ini hubungan mereka baik-baik saja, tak pernah yang namanya ribut tanpa alasan yang jelas, intinya mereka berdua baik-baik saja. Sedangkan yang lainnya? Hanya menunggu yang ‘pas’ datang. Baru-baru ini juga Alex sedang dekat dengan adik kelas, mereka yang masih jomblo cuma bisa mendoakan Alex bisa melanjutkan hubungannya yang semakin lama semakin tak jelas.
Baik-baik saja bukan berarti tak ada masalah, mereka berdua selalu diam tak bicara jika ada masalah yang membuat salah satu dari mereka berdua tak berbicara satu sama lain, bahkan membuang muka. Hal ini membuat teman-teman mereka agak ‘risih’ jika Ivan dan Hany sedang ‘diem-dieman’, pasti salah satu dari mereka bertujuh melerai mereka secara baik-baik. Dan suasana pun kembali seperti biasanya.
Bel berbunyi tanda masuk, tanda untuk Alex dan Ahmad menguap kembali. Karena tempat duduk mereka berdua dua dari belakang, sehingga mereka puas untuk melanjutkan mimpi yang tertunda semalam.
Plak! Satu pukulan agak keras di kepala yang membuat Alex terbangun dengan air terjun niagara yang berpindah ke pipi Alex.
“Apaan sih Win, ganggu gue aja.” katanya sambil mengelap pipinya yang basah.
“Apanya yang apaan! Tuh liat.” dagu winny yang khas bertompel menunjuk ke arah Hany yang sedang tertunduk dan tiba-tiba mengusap matanya yang basah.
“Gue rasa dia abis nangis, Lex.” Winny berkomentar.
“Ya udah biarin aja, mungkin lagi ada masalah sama Ivan. Nanti pas bel pulang sekolah bunyi langsung kita interogasi dia.”
Setelah duduk di ‘kursi panas’ selama 2 jam lebih akhirnya bel tanda pulang pun berbunyi. Tanda semua siswa bebas dari ocehan-ocehan dan ceramahan dari sang guru. Disamping itu mereka bertujuh berkumpul. Ya, hanya Hany yang langsung pulang duluan karena katanya kepalanya sakit mendadak dan dia enggan diantar oleh Ivan. Alasan yang masuk akal, tapi mereka bertujuh tau pasti ada masalah diantara mereka berdua. Apabila ditanya pasti salah sat u dari mereka berdua menjawab “gapapa kok” atau hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Setelah beberapa menit menginterogasi Ivan dan tak mendapat jawaban, mereka bertujuh memutuskan untuk mengerjakan tugas sekolah, di kediaman Alex. Sebelum memulai mengerjakan tugas, mereka semua mampir sebentar ditaman komplek tak jauh dari rumah sang pemilik rumah. Selain untuk melepas penat mereka juga suka berbagi cerita tentang keluarga, cinta dan semuanya mereka bahas sampai aib yang mereka punya pun terbongkar sudah.  Puas dengan candaan yang mereka buat dan kembali ke rumah Alex untuk mengerjakan tugas untuk besok. Baru sepuluh menit mereka mengerjakan, handphone Alex bergetar, ada pesan singkat.
“Lex, udah dirumah?” Tertera nama Hany di layar handphonenya.
“Udah Han, kita lagi bertujuh nih. Oh iya kondisi lo gimana? Masih sakit kepalanya?”
“Gue engga sakit kok Lex. Gue lagi jenuh aja sama Ivan jadi gue pulang duluan,  tapi jangan bilang-bilang dulu. Cukup lo sama gue yang tau, eh sama Tuhan juga deh, hehe.”
“Oh oke deh, kalo ada apa-apa bilang gue aja ya.” Tak ada jawaban lagi dari Hany.
“Smsan sama siapa Lex?” Ivan to the point.
“Eh lagi smsan sama kakak gue nih, kenapa?”
“Oh gapapa.” Ivan melanjutkan pekerjaanya.
Memang akhir-akhir ini Hany sering bercerita kepada Alex semua tentang Ivan yang sikapnya dingin itu. Apalagi beberapa minggu lagi Ujian Akhir Sekolah akan mereka lewati. Tapi tanpa alasan apapun Hany tetap sayang kepada Ivan dan tak mau semuanya berakhir. Alex pun juga sering bercerita kepada Hany tentang adik kelas yang ia sukai. Hampir setiap hari mereka habiskan untuk bercerita, hanya lewat pesan singkat. Tak ada yang tau bahwa mereka cukup dekat bahkan Ivan pun tak tau. Alex yang belum cukup berpengalaman untuk ‘cinta monyet’ seperti ini sangat mengerti perasaan Hany sekarang, begitu juga sebaliknya. Pernah mereka jalan berdua untuk sekedar minum kopi dan mencurahkan isi hati mereka berdua. Hanya itu yang membuat perasaan mereka kembali tenang.
Seminggu berlalu. Hany dan Ivan tampak biasa saja. Pikir Alex. Sudah tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Namun yang membuat teman-teman mereka tambah bingung, saat ada masalah salah satu dari mereka berdua tak ada yang mau bicara duluan, selalu diam dan membuang muka. Saat semuanya berkumpulpun hanya Hany dan Ivan yang canggung jika ingin berbicara. Terkadang berbicara seperlunya. Ini yang membuat Ahmad dan lainnya selalu mencari solusinya. Yang paling banyak bicara adalah Andini, Vio dan Winny. Tanpa sepengetahuan Hany dan Ivan, mereka berenam membahas itu untuk kesekian kalinya. Karena tak mau persahabatan mereka renggang. Tepat di kantin sekolah saat jam pelajaran berakhir.
“Selama seminggu terakhir ini gue amatin mereka berdua, rasanya sih mereka lagi break deh.” Winny membuka pembicaraan.
“Sok tau banget sih lo, tompel!” refleks Alex menyentuh dagu Winny yang  khas itu.
“Diem deh lo, ah.” kesal Winny.
“Gitu aja kok ngambek sih, hahaha.” katanya, ”hmm iya sih menurut gue juga gitu.” Alex menambahkan.
“Yaudah kita diemin dulu aja mereka berdua, biar mereka selesain dulu masalah privasi mereka tanpa kita ikut campur. Tapi inget ya kita berdelapan jangan sampai renggang. Kalau salah satu dari mereka curhat atau cerita, so jadi pendengar yang baik, ok?” panjang lebar Ahmad memutuskan dan semuanya mengangguk setuju.
Esoknya di sekolah, seperti biasa saat jam pelajaran berlangsung sampai jam pelajaran berakhir, semuanya berjalan seperti biasanya. Saat Hany memasukkaan bukunya kedalam tas, Ivan menghampirinya dan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Karena dia tau tak ada cara lain agar hubungannya baik-baik saja. Hany pun mengangguk dan berpamitan kepada yang lain untuk pulang bersama Ivan. Mereka berenam bersorak girang karena akhirnya bisa pulang sekolah bersama walaupun arah rumah mereka berlawanan.
Dijalan menuju rumah Hany, tak ada suara yang keluar dari mulut mereka.
“Sampe sini aja ya, makasih udah nganterin.”
“Iya sama-sama. Maaf ya kalo aku jarang sms atau telepon kamu minggu-minggu ini, aku harus fokus sama uas.”
“Gapapa ko, aku duluan ya, kamu hati-hati dijalan.” Tanpa menatap wajah Ivan, Hany langsung berjalan cepat menuju rumah.
1 jam, tak ada sms dari Ivan yang biasanya selalu tepat waktu jika ia sudah sampai rumah. Hany tak menggubrisnya dan langsung beristirahat di kamarnya. Setelah sadar ada sms yang membangunkannya. Dari Ivan.
Tadi aku liat dari air muka kamu, kayaknya kamu udah jenuh ya sama kondisi kita sekarang ini. Aku yang selalu sibuk sama les dan sedikit lagi kita mau ujian. Aku fine aja kalo kamu putusin aku sekarang dan kita bisa jadi teman yang baik-baik. Tapi yang perlu kamu tau, cuma kamu yang bikin aku sayang sampe segininya dan hmm, entah apalagi yang aku bilang sama kamu. Aku takut kamu benci sama aku. Aku pasti hargain keputusan kamu,  aku sayang banget sama kamu.
Hampir saja jantung Hany keluar ketika membaca isi pesan itu, sambil mengulat dan menguap karena baru bangun tidur dan perasannya bercampur aduk sekarang. Hany menarik napas perlahan dan berpikir bahwa ini jalan yang terbaik. Dengan jari yang masih kaku dan sedikit gemetaran Hany membalas.
Aku juga minta maaf kalo aku gak mau ngomong terus terang di depan kamu, karena kamu tau kan aku orangnya gak mau memperpanjang masalah yang sepele ini. Aku diam bukan berarti benci sama kamu, aku sayang banget sama kamu, tapi aku gatau caranya aku sampein perasaan ini ke kamu. Aku minta kita temenan aja ya, kita kumpul bareng-bareng lagi, liat kamu main truth or dare, minum kopi dari piring lagi, hehe. Thanks for everything, Van. J
Sekali lagi ia baca teks pesan yang ia tulis, lalu menekan tombol send. Hatinya lega walaupun Ivan tak membalas smsnya.
Di kelas, tampak Ivan, Andini, Vio dan lainnya sedang bermain truth or dare yang korbannya adalah Ivan. Lagi-lagi dia kena ‘dare’ karena ia belum kebagian jatah. Hany yang melihatnya dari kejauhan tersenyum walau hatinya sedikit teriris.
“Ayo Van, kok ga jantan sih?” Ahmad mengeluh.
“Iya berisik lo ah, butuh keberanian nih.” Katanya, “Mana lagi si Hany nya,” celingak-celinguk Ivan mencari Hany, ternyata dia sedang membaca komik di bangku paling belakang.
Dengan membawa kemoceng sebagai bunganya, lutut Ivan melemah “Selamat pagi, ratuku. Ku..kubawakan b..b..bunga ini untukmu. Memang tangkainya cuma satu, karena kamu satu-satunya yang ada dihati aku.” gemetaran Ivan berbicara didepan Hany, karena baru kali ini Ivan berbicara seperti itu didepannya, tentu dengan kondisi yang berbeda, tapi tak ada yang curiga dan belum tahu mereka sudah putus, dan karena ini hanya permainan yang mereka buat.
“Udah Han, jangan malu-malu ah, terima aja!” teriak Alex dengan semangat. Semuanya pun ikut meneriaki mereka berdua.
“Iya, terima kasih ya pangeranku.” Diterimanya bunga palsu itu dan semuanya berteriak, “Peluk! Peluk! Peluk! Ayo Van, peluk!”
“Apaan sih kalian! Kan bukan itu perintahnya!” mukanya berubah merah.“ tanpa menunggu Ivan yang melakukan, Hany pun langsung memeluk Ivan. Sontak semuanya diam dan menganga. Hany pun langsung pergi meninggalkan kelas.
“Gak jantan lo Van!” kata Alex agak kesal namun masih tertawa geli.
“Aduh sorry semua, itu bukan perintahnya. Hehe,”
Mungkin hari itu akan selalu diingat Hany sampai kapanpun.
Di tuangkannya sedikit kopi susu yang panas kedalam piring kecil, muncul Alex dengan sepeda gunungnya. Hany sudah membuat janji dengan Alex di hari minggu di cafe dekat dengan sekolah mereka. Disini tempat mereka berkumpul jika sedang weekend atau sedang ‘awal bulan’. Namun minggu ini mereka berdelapan tidak berkumpul seperti biasanya karena besok sudah mulai ujian akhir sekolah. Dipesannya secangkir kopi susu lagi.
“Udah lama nunggunya?” Alex membuka pembicaraan. Terlihat wajah Hany sembap dan matanya yang berkantung hitam.
“Lumayan lah, gapapa kok.”
“Oh iya, tumben ngajak gue lagi kesini, ada apa hayo?”
“Ah lo kayak belum kenal gue aja Lex,” katanya sambil tertawa kecil, “gue udah putus sama Ivan, Lex.”
Alex yang sedang menuangkan kopinya kedalam piring langsung menatap Hany, diam.
“Loh kok diem aja sih? Komentar dong.” Hany menunggu jawaban.
“Ya abis mau ngomong apa, gausah diperpanjang lagi selesai kan masalahnya?”
“Aleeeex! Reseh banget sih lo!” mereka berdua tertawa.
“Eh gimana kelanjutan lo sama si Tita? Udah jadian belum?” Hany mengalihkan pembicaraan.
“Udah sih, tapi dia selalu gak mau denger nasehat dari gue, bukannya sok dewasa didepannya, karena gue tau dia butuh gue, dia brokenhome, Han.”
Hany ber-O ria, “Kayaknya ada diposisi lo susah juga ya Lex. Gue selalu berdoa biar lo langgeng sama dia.”
‘Iya amin, thanks berat ya Han.” katanya, ”eh inget gak? Pertama kali lo sama anak-anak kerumah gue waktu hujan dan refleks lo ke dapur gue dan cari kopi instan buat diseduh? Disitu lo malu banget karena ketauan nyokap gue, hahaha,”
“Aiiih, masih dibahas aja sih, itu kan gue lagi ngantuk jadi gak sadar,”
“Alasan di tolak! Sampe kapanpun gue bakal inget kejadian itu.” Akhirnya senyum mengembang di wajah Hany.
Lamunan Ivan buyar saat mengingat masa-masa SMA dulu, cinta monyet. Pikirnya.
“Yaudah aku kalah aja deh buat kamu, wek!” lidah terjulur dari mulut Alex.
“Loh emang aslinya aku yang menang kan, ya gak, Din?” Hany meminta pembelaan dari Andini. ”Eh, iya aja deh, daripada lo nangis lagi, Han. Hahaha..” katanya sambil menatap Ivan. Ivan yang tak tahu apa-apa hanya diam dan meminum kembali kopi yang hampir dingin.
“Teteeeh, minta kopinya lagi satu dong, biasa yah,” teriak Hany kepada bibi.
“Ih kamu, jangan kebanyakan ngopinya, nanti kembung sayang,” Alex menasehatinya.
Bibi pun datang, bukan secangkir kopi yang diminta Hany, tapi bayi yang dibawanya.
“Maaf bu, stock kopinya habis, nanti saya belikan lagi. Ini si Alden bangun, kayaknya haus bu.”
“Alden? Mana sini biar gue gendong!” muka Winny langsung sumringah.
“Anak siapa yang gendong siapa, dasar tompel!” tetap kata-kata itu keluar dari mulut Alex.
“Udah biarin aja mas, biar dia cepet nikah terus aku punya keponakan deh,” Hany berkomentar, semuanya tertawa dan kembali meminum kopinya sampai habis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Loser

E-Day

Sempit