Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Selalu Ada

Memang, pengalaman yang selalu mengajarkan kita menjadi lebih baik. Rasa sakit yang bertubi-tubi datang mengajarkan kita lebih bersyukur menerima kenyataan. Lebih bahagia dengan keadaan yang sekarang. Karena bahagia hanya kita yang buat, diri sendiri. Sisa masa lalu hanya untuk menjadi bahan obrolan untuk di tertawakan, bukan untuk disesalkan. Hal itu gue yang rasa saat  ini. Perjalanan gue sebagai murid kehidupan selalu berputar. Iman naik turun. Tapi satu yang gue sesalkan. Kenapa baru sekarang gue bisa menciptakan kebahagiaan gue sendiri? Apakah gue lupa hakikat gue sebagai manusia? Ah, mungkin gue hanya khilaf. Gue pernah dengar salah satu kalimat yang berkata “kita tidak pernah menilai orang yang kita cintai” , yap that’s true. Walaupun dia selalu menyakiti kita, atau membuat hidup kita lebih menderita atau apapun itu, tetap kita menilai dia selalu baik. Melepaskan sesuatu memang tidak mudah, tapi tidak salah kalau memilih bahagia menjadi diri sendiri. Mengikhlaskan apa yang

Saddest thing

Aku menangis bukan karena aku lemah. Aku menangis bukan karena aku tak kuat menahan beban sendirian. Aku menangis, karena aku ingin menangis. Karena rasa kebencian ini kalah telak, rasa emosi ini telah menguap. Boleh aku bersandar sebentar saja? Pada kepasrahan dan tak ingin melarikan diri lagi. Mungkin aku hanya lelah, lelah karena setiap hari berlari. Takut karena akan masa lalu yang seharusnya diikhlaskan. Aku menangis, karena hati ini ingin didengar. Bukan melulu soal egoisme. Bukan soal kebencian. "Apa yang aku mau? Dan apa yang aku butuhkan?" Mungkin itu sedikit pertanyaan yang keluar saat hati ini ingin didengar. Sampai kapan mau lari seperti ini? Kapan mau berdamai dengan diri sendiri? Dimana aku bisa mencari keheningan untuk diriku sendiri? Kapan bisa memaafkan diri sendiri? Terimakasih air mata, kau sangat membantu disaat aku butuh.

Make Up

Menjadi diri sendiri seutuhnya sampai sekarang pun sulit. Banyak godaan, dimulai dari logika, ego, bahkan pendapat-pendapat orang lain yang bisa menjatuhkan. Aku tahu sekarang apa kekurangan yang aku punya, memang tak baik jadi pendendam. Tapi aku tahu batas wajar aku harus bersikap. Kadang suatu hari, aku suka menangis diatas sajadah, hanya karena teringat akan semua beban, semua dosa, semua peluh yang ku bawa selama ini. Selalu menyesal, mengapa aku dulu sebodoh itu? Mengapa kemarin aku sebejat itu? Dan semua pikiran-pikiran yang melayang diatas kepala. Aku hanya berdoa aku mendapatkan yang terbaik. Apa itu kurang? Aku harus berdoa apalagi? Aku cuma manusia biasa yang terbatas. Terlalu menyesakkan, tapi aku tak tahu itu apa. Ingin teriak tapi malu, malu akan dosa yang sudah kuperbuat. Tapi aku melakukan, melakukan, dan melakukannya lagi. Aku bingung. Aku linglung, entah ini benar atau salah. Aku memang belum pantas mendapatkan yang aku mau, terlalu rendah status ini untuk menjadi le

Anger

Terlalu banyak yang palsu. Tawamu palsu, sedihmu palsu, bahagiamu palsu, senangmu palsu. Aku heran, untuk apa dibuat-buat? Lebih baik diam, dan bicara ketika saat yang tepat. Egomu itu terlalu manja. Cobalah sekali-kali, buka mata, hati dan telinga kau itu. Pasti egomu cuma sebagian kecil dari atom. Aku juga sadar, aku masih punya ego dan nafsu. Tapi apa aku menuruti itu? Aku juga manusia, iya. Menangis pernah, mengeluh iya, dan segala macam naluri yang manusia punya. Tapi aku juga sadar, aku masih punya nurani yang tersimpan dengan baik. Masih ada hal baik yang aku punya. Dan aku perlu proses untuk mengasahnya. Mungkin sepanjang jalan hidup akan selalu terasah. Aku hanya ingin tegas, ingin bisa berani menghadapi ketakutanku akan masa lalu yang mungkin sangat menyakitkan. Sekali lagi, masih ada hal baik yang aku punya. Aku masih punya Tuhan. Aku masih punya semesta. Tak ada hal lain pun. Berharap pada manusia hanya membuat kecewa pada akhirnya. Karena manusia juga lemah dan punya egon