Mad, Unbroken

Mungkin ini di tingkat atau di puncak pikiran, fisik dan hati gue di adu. Ketika seseorang yang lo percaya (tentunya tidak 100%), berbuat kesalahan atau bahkan fatal akibatnya, dimana seseorang yang dekat dengan lo (seorang teman) memberi kepercayaan dengan teman lo (anggap saja baru berteman) ini merusak niat baiknya. Bukan saling menyalahi. Tapi apa manfaatnya kalau yang dipakai itu ego dan hanya mengandalkan hati? Dimana logikanya? Mungkin hanya salah komunikasi. Lalu apa dengan kalimat yang membuat tersinggung semua orang yang terlibat, membuang-buang waktu orang yang menunggu, dimana logikanya? Alasan yang ‘kurang’ masuk di akal karena ‘karma’ datang untuk orang yang telah merusak kepercayaan gue. Arrrrgh! Sakit sampai ubun-ubun kepala gue ini. Meminta maaf dan memaafkan mungkin sudah menjadi formalitas sekarang. Sisanya hanya sadar diri dan cari solusi agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Otak gue penuh dengan kata-kata yang mungkin akan keluar sekarang. Ketidaktahuan akan permasalahan setiap kehidupan ‘mungkin’ akan membuat seseorang beripikiran pendek. Mana yang termasuk ‘baik’ atau bahkan ‘banyak mudharat’nya. Hati dan pikiran tidak sejalan. Mana yang harus diprioritaskan, bukan harus hati atau pikiran (logika) saja, tapi keduanya harus benar-benar sejalan. Jikalau memang masalah yang lo dihadapi membuat kebingungan, percayalah. Tuhan sedang meng test bagaimana ciptaan Tuhan ini bekerja. Apakah lo menggunakan perasaan saja? Atau tak acuh langsung bertindak dengan logika?

Ya, jujur gue marah dengan semua perasaan yang gue punya, tapi gue tidak menyalahkan siapapun. Memang manusia tidak diciptakan sempurna, perasaan kecewa tetap ada? Ada. Tapi dengan itu gue tidak berlarut terus dengan perasaan gue. Gue masih menggunakan otak gue untuk mengalah. Terbalik ya? Eh who knows? Atau gue terlalu baik orangnya? Atau terlalu percaya diri? Atau terlalu sombong? Atau menggurui? Entahlah. Sudah beberapa orang yang gue beri kepercayaan namun dengan seenaknya merusak kepercayaan itu. Berkali-kali. Dan gue tetap tersenyum kepada mereka? Yeah gue pake otak dan hati untuk itu. Mungkin hati gue sudah terkoyak koyak karena ketidak konsistenan mereka terhadap kepercayaan yang gue berikan. Gue tetap berjalan dengan mereka. Tetapi tau apa yang telah mereka lakukan terhadap gue. And I don’t want to make a revenge. Mungkin hanya perasaan benci ini lewat. Lalu? I act like a man. Yas. (ini pikiran gue yang sangat kurang berfaedah, tapi trustme it works.)

Hanya lucu dengan kehidupan ini, semua manusia diciptakan dengan watak yang sangat berbeda-beda. Dengan hebatnya Tuhan melmbuat kita bisa saling terhubung apapun caranya. Meskipun pernah disakiti, punya pengalaman yang sangat tidak diinginkan, dan lain sebagainya, Tuhan tetap membuat hidup ini seimbang. Hidup yang normal. Lalu apa tujuan hidup kalau pada akhirnya kita semua akan mati? Oh ya, amal. Menimba amal untuk bekal. Hampir saja gue lupa.

Masih dengan kepala gue yang cenat-cenut ini, mungkin terlalu keras untuk bekerja. Memikirkan solusi yang belum tentu tuntas. Solusi yang tak pernah didengar orang. Solusi untuk diri sendiri. Berkata kasar pun percuma. Diam apalagi. Gue hanya butuh orang yang mau mendengarkan keluh kesah gue, tentu bukan sumpah serapah gue. Tetapi seluruh kalimat yang berserakan dan menuntut untuk di keluarkan. Karena menjadi pendengar itu sulit, jadi hanya tulisan ini jadi pelampiasan gue mengeluarkan keluh kesah yang ada. Disaring dulu tentu. Karena kalau hanya menggunakan orisinal dari otak gue, pasti bakal ‘tidak lulus sensor’ hampir di semua kalimatnya. Haha. Tak apalah gue punya sedikit teman, berarti hanya sedikit yang bisa menemani gue dengan ‘tulus’ dengan apa adanya gue, bisa mendengarkan gue walaupun gue berkata yang mungkin mereka gak mengerti. Tetapi masih mau mendengarkan. Masih ada dan gue bisa menghitung mereka. I’m so blessed to have them.

Gue tidak membenarkan apa yang gue tulis ini. Gue hanya mengutarakan apa yang gue rasakan dan gue pikirkan. Dan masih tidak ‘terima’ kalau hidup hanya mengandalkan salah satu: ‘hati’ atau ‘logika’ saja. Jadi gue hanya bisa 100% percaya dengan Tuhan dan satu: diri gue sendiri. Tentuuu masih ada yang belum bisa gue pisahkan yaitu rasa yang telah gue pupuk dan gue tanam itu (ceilah), mungkin sekarang rasa itu belum berbuah manis. Gue hanya bisa terus merawatnya dengan senang hati dan tetap kepada pendirian gue. Apabila suatu saat kalau memang Tuhan tidak menciptakan rasa ini untuk seseorang yang gue tuju, mungkin gue hanya bisa menimbunnya lagi ke dalam tanah (?) atau membuangnya? Atau apa ya? Jawaban Tuhan memang selalu hebat. Lah kenapa jadi curhat ya?

Cukup mungkin kalimat gue yang berserakan dan bergeletakan di dinding otak ini. Sudah waktunya istirahat dari semua penghakiman hidup yang lucu di luar sana. Gue sayang banget sama diri gue (self reminder). Pis lov en gaol! Muach.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Loser

E-Day

Sempit