Crisis


All I need is to trust my self. Berada di lingkungan yang memang ‘depresi’ atau hanya sekedar ‘overthinking’ dianggap tabu dan sepele. Gue yang selalu berusaha menyimpan banyak cerita yang selalu gue tuang kedalam blog ini, karena ga ada orang lain yang bisa gue bagikan kecuali memang Allah yang selalu akan mendengar keluh kesah hamba-Nya. Tapi hal itu mutlak, lain hal dengan lingkungan yang baru dan pastinya akan gue jejaki dalam beberapa waktu kedepan. Apakah gue akan bisa menjalaninya atau tidak, gue tidak terlalu mempermasalahkan. Sesuatu yang gue permasalahkan adalah ketika gue menemukan suatu hal yang janggal atau hal yang tidak gue inginkan terjadi, apakah gue tetap akan tenang atau chaos? Apakah ini suatu penyakit yang gue alami atau bukan?

Sebenarnya banyak faktor yang gue ketahui ketika gue beranjak diusia hampir seperempat abad ini. Ketika gue punya satu masalah, yang gue lakukan adalah berpikir ‘i dont give a fuc* with this, so just relax and let it go’ tapi kalau masalahnya bertubi-tubi (entah bisa disebut masalah atau bukan, yang jelas sesuatu hal yang gue rencanakan tidak terlaksana) dan dalam waktu yang bersamaan, justru membuat hal itu semakin membuat beban mental gue ambruk. YES, all I need is just pray and let God do the rest, tapi apakah hanya itu?

Setelah gue baca (ga banyak) pengalaman orang, gue tidak sendiri. Masih banyak orang yang lebih parah dari gue, banyak orang-orang yang datang ke psikiater hanya untuk mencari penjelasan adakah yang salah dengan dirinya. Bahkan orang yang kelihatannya tidak punya masalahpun sebenarnya punya mental illness. Gue disini tidak ingin mendiagonis diri gue sendiri gue menderita itu. Tapi yang gue ga suka adalah ketika orang menyalahkan seseorang dengan menjudge “kurang salat kali” or something yang berbau dengan agama. Karena gue yakin mereka diluar sana sudah berusaha untuk berdoa yang terbaik, meminta agar ‘permasalahan’ yang mereka punya segera terselesaikan. Sekali lagi, mental seseorang itu berbeda-beda (berdasarkan interpretasi temen) dan berbeda-beda cara mereka menyikapinya. Respect with that, support and never jugde with any reason.

Beberapa kalimat yang gue dapatkan dari instagram dan ini yang paling mewakilkan perasaan gue (dulu dan sekarang): As a highly sensitive person, with a lot of emotiional turmoil and mental stuff going on, I cry a lot. Always have. At home, at work, in school, on trains, in public... and I was told I was too sensitive. ”you cry too easily, grow thicker skin”, and “crying won’t solve anything”, are sentiments I’ve been told all my life. And I would always be so embarrassed, and feel so weak because I cried often. But as I’ve gotten older, I have accepted that it’s the way I am. Crying is a good release for me, and it’s the absolutely human to cry. Don’t feel like you weak just because you are quick to tears, or because you’re sensitive. Don’t bottle things up, let them out. It’s okay to cry.  
Ya, gue ternyata orang yang sangat sensitif. Meskipun kelihatannya gue masa bodo (untuk hal yang memang tidak gue permasalahkan) tapi dalam diri gue yang benar-benar kenal dengan gue (hanya kakak, mama dan adik gue tau sifat dan pembawaan gue kalau di rumah) itu gue paling ga suka yang namanya bising, berdebat tentang apapun, atau membahas masalah pribadi, ketika hal itu terjadi dan ditambah faktor lain yang membuat overthinking gue semakin meluas, terakhir yang gue lakukan ya nangis, luapan yang ga ada sama sekali obatnya. And actually cry is the medicine self.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Loser

E-Day

Sempit