Percaya


Seperti biasa, gue nulis cuma kalau ada unek-unek saja. Halah pembukaan macam apa ini, basi kali. Udah gue pendem selama kurang lebih 2 minggu ini. Disaat gue baru tau cerita temen-temen seperjuangan gue dikampus. Gatau gue harus berekspresi apa, disitu gue down, yes dengan semua keluhan gue yang seperti upil itu, gak sebanding dengan cerita mereka yang bisa dibilang ‘kok Allah gak adil ya, jahat banget’. Karena gue yang seperti ini, selalu flat, menutup diri, idc semua orang-orang berekspresi apa di depan kamera mereka, selalu memikirkan nasib sendiri. Yha aku egois, aku terlalu jahat, aku memang begini, gak bisa berbuat apa-apa, tertawa padahal ingin menangis. Poker face mungkin? idk. Cerita saat salah satu temen gue yang gagal dalam pernikahannya padahal belum ada 1 bulan, lalu yang pernikahannya terancam diundur karena terhalang oleh turlap ke desa dari kampus, yang terhambat karena biaya pengobatan biaya kuliah dan restu ibunya juga karirnya, yang silaturahmi terputus karena sang ibu dari pihak laki-laki meremehkan harga diri temen gue, GUE? GUE APA? Disitu gue gatau harus bersyukur atau gimana. Gue hanya bisa mendengarkan mereka. Tapi gue tau perasaan mereka karena gue wanita. Perasaan bagaimana menghadapi situasi dimana gue ga mendapat restu orang tua, tapi disini masalahnya berbeda. Karena itu kesalahan fatal yang pernah gue perbuat, Tapi ini? Rasanya diinjak-injak harga dirinya, dicaci maki, lalu baru tau sisi lain pasangan yang membuat hubungan yang terlanjur disahkan negara itu bubar begitu saja? Lalu menahan rasa sakit sambil memikirkan bagaimana cara bertahan hidup sampai lulus dan menikah? Bagaimana caranya meluluhkan hati orang tua yang ingin anaknya segera menikah yang terhalang dengan tetek-bengek kampus? Gue yang hanya punya cerita sendiri ini ternyata masih lebih complicated mereka. Gue akui, gue memang belum bisa maju kemana-mana, pikiran gue selalu terbayang akan masa lalu, tapi gue masih diam di tempat. Mereka yang tau cerita gue yang ‘itu’ saja cuma bilang, “jangan sampe lo kayak gue kak, amit-amit.” Dan begitu lainnya. So? What should I do? Cerita gue memang begitu-begitu aja kok. Bosen? Tentu saja. Lelah? Apalagi. Kenapa ga move on aja? Gue gamau bilang “coba lo jadi gue”, udah basi lho, ya intinya gue menikmati masa-masa seperti ini, masa dimana lara, lelah, sedih, patah semangat, pura-pura bahagia, dan yang membuat gue menjadi poker face diluar sana. Siapa lagi yang bisa mengerti gue selain Tuhan dan diri gue sendiri? Gue adalah tipe yang hanya bisa mendengarkan saja, tanpa timbal balik nasihat untuk mereka yang berkeluh kesah ke gue. Terkecuali gue punya pengalaman atau cerita yang sama dengan mereka, atau gue sudah satu paham dengan mereka. Kaku memang gaya gue, loading lama bisa dibilang, karena gue terlalu lama bermain-main dengan pikiran gue,  dengan khayalan yang gue buat sendiri. Jadi apa yang gue bilang belum semuanya gue ungkapkan, kecuali di tulisan ini (masih banyak sebenarnya yang mau gue tulis tapi kayaknya terlalu panjang) dan sepertinya gak penting juga, capek emang ya berdebat sama diri sendiri, ga ada hasil apa-apa. Ya ini yang mungkin gue rasakan sekarang, serasa ngomong sama tembok, bedanya ini sama keyboard. Gue percaya teman-teman gue yang punya cerita diatas tadi bisa melewatinya, karna Allah punya jalan, dan buat gue juga berlaku, entah itu jalan yang gue inginkan atau bahkan yang gak gue pikirkan sama sekali. Gue yang egois ini akan berubah atau masih akan tetap egois ga ada yang tau. 5 tahun kurang lebih berada di kapal yang sama. Tenggelam, karang, rusak, semuanya udah pernah dilewatin. Tinggal nunggu tenggelam selamanya, nunggu ombak membawa entah kemana, atau ada yang nolongin di tengah perjalanan? Siapa tau?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Loser

E-Day

Sempit